Wednesday, May 27, 2009

Indonesia dan Kemiskinan Multidimensional


Indonesia dan Kemiskinan Multidimensional
Oleh : Dina Nur Fitriana

“Kami marah karena tra (tidak) dapat kartu BLT (Bantuan Langsung Tunai), padahal kami sudah mendaftar dan antre dari pagi.” Kalimat bernada pelan dan tampak menahan rasa perih akibat tiga butir peluru masih bersarang di pinggang kirinya, keluar dari mulut Lukas Talenggen, salah satu korban rusuh Puncak Jaya.”(Sinar Harapan, 16/10/2006).
Lukas meluapkan amarahnya dengan menyerbu kantor DPRD Puncak Jaya di Kota Batu, karena tidak mendapat kartu BLT, yang ia percaya mampu – paling tidak – memperbaiki ekonomi keluarganya. Namun, luapan kemarahan yang dikeluarkan justru berbuah tembakan untuknya. Apa BLT merupakan solusi tepat yang diambil pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan? Sebenarnya, apa itu kemiskinan?
Kemiskinan tidak hanya dikaitkan dengan kurangnya uang dan barang untuk memenuhi kebutuhan dalam hidup. Kemiskinan adalah keadaan adanya rasa kekurangan. Jika kita dalam keadaan sedang tidak ada ide, dinamakan miskin ide. Kurang sumber daya alam atau manusia yang dibutuhkan, miskin sumber daya. Segala keadaan dimana dirasakan kekurangan atau ketidakmampuan untuk memenuhi segala macam kebutuhan dan keinginan adalah kemiskinan.
Seperti yang dikatakan Chambers (dalam Nasikun) bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
Banyak sisi atau dimensi yang menyebabkan sesuatu dikategorikan masuk dalam keadaan miskin. Miskin ekonomi dalam hal kurangnya uang atau barang untuk memenuhi kebutuhan PSP (Pangan, Sandang, dan Papan) sering dianggap hal yang harus segera diselesaikan dengan memberikan langsung kebutuhan-kebutuhan itu pada yang tidak dapat memenuhinya. Padahal masalah yang sebenarnya adalah bisa jadi berawal di dimensi-dimensi lain seperti yang dipaparkan oleh Chambers.
Kemiskinan juga dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
b. Kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
c. Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
d. Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Perkembangan terakhir, menurut Jarnasy (2004) kemiskinan struktural lebih banyak menjadi sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga kemiskinan yang lain.
Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan (artificial).
a. Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus.
b. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata.
(Mas’oed, 1997).
Rumah-rumah megah yang dilihat PI di Jakarta, VIP di Bogor, atau Darmo di Surabaya ; mal-mal yang saban hari penuh oleh lautan orang, baik tua maupun muda; banyaknya orang yang sudah membawa telepon seluler; ataupun rumah-rumah yang kebanyakan sudah mempunyai televisi; membuat kita bertanya, apa benar kita masuk dalam kategori miskin?
Sekarang, mari kita lihat keadaan lain. Ketimpangan atau selisih yang sangat jauh dengan keadaan di atas jika kita melihat rumah-rumah yang ada di tepi sungai atau di bawah jembatan layang, sementara makin banyak juga barang-barang impor yang beredar dan super laris manis di pasaran, baik pangan maupun non-pangan; maskapai nasional kita yang sempat diboikot oleh Saudi Arabia; kebudayaan Indonesia yang dipatenkan oleh negara lain; banyaknya anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan, yang malah menjajakan koran atau mengamen; tidak mampunya kita bersaing dengan negara lain dalam hal pengembangan negara padahal mendapatkan kemerdekaan di masa yang sama; membuat kita bertanya sekali lagi, apa kita masuk dalam kategori miskin?
Keadaan kita yang bergantung pada negara lain dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan maupun non-pangan, tidak bisa berbuat apa-apa saat kebudayaan kita diambil begitu saja, saat maskapai nasional kita diboikot; tidak mampunya menyelesaikan masalah pendidikan yang merupakan masalah vital bagi masa depan bangsa; tidak mempunyai kita menghadapi persaingan global dalam perdagangan bebas, terbukti barang-barang kita yang banyak diklaim buruk karena tidak memenuhi standar mutu; ketidakberdayaan, ketidakmampuan menghadapi segala situasi, ketergantungan pada pasokan dari negara lain, apakah membuat kita masih bertanya lagi?
Ada istilah poverty trap atau perangkap kemiskinan. Perangkap yang membuat kita serba salah dan bingung untuk mengatasi kemiskinan dari sudut atau dari bagian yang mana. Karena permasalahan berasal dari permasalahan lain yang ujung-ujungnya kembali lagi pada permasalahan awal.
(gambar)

Istilah lain untuk keadaan seperti ini; sebagai ilustrasi dapat dikemukakan pandangan dari Jalaludin Rachmat (1999), bahwa produktivitas yang rendah, pendapatan yang rendah menyebabkan pendidikan rendah. Pendidikan yang rendah mengakibatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Kualitas SDM yang rendah menyebabkan produktivitas yang rendah dan terus begitu. Rangkaian tersebut sering disebut sebagai vicious circle atau lingkaran setan kemiskinan.
Kemiskinan kultural juga terjadi dan merupakan salah satu penyebab timbulnya kemiskinan-kemiskinan lain, ini diungkapkan oleh Sendouw (2006) bahwa ternyata yang membedakan negara maju dan terkebelakang adalah sikap dan perilaku masyarakatnya yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui pendidikan dan kebudayaan. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa mayoritas masyarakat di negara maju mengikuti prinsip-prinsip dasar kehidupan sebagai berikut: etika, kejujuran dan integritas, bertanggung jawab, hormat pada aturan/hukum, menghormati hak orang lain, cinta pada pekerjaan, mau bekerja keras, dan tepat waktu. Sementara di negara miskin, hanya sebagian kecil masyarakatnya yang mengikuti prinsip-prinsip tersebut.
Dan kita termasuk di dalamnya karena banyak contoh kasus yang membuktikan mental yang rendah dari bangsa Indonesia. Di tingkat elite, korupsi yang tak kunjung surut, dari birokrat, wakil rakyat sampai akademisi, pemalsuan ijazah demi mendapatkan tempat di kursi pemerintahan, atau pilkada yang selalu tidak sehat berujung pada tindak kecurangan. Setali tiga uang dengan kondisi masyarakat umum. Yang terjadi dengan Lukas Talenggen, maraknya tindak kriminalitas (pemerkosaan, pembunuhan, yang terkadang disebabkan oleh hal-hal yang sepele), yang lebih sederhana lagi, lihat saja para pengguna jalan, di lampu lalu-lintas yang telah menyala merah, pengendara seenaknya menyerobot, tidak mematuhi rambu, dan pemakaian helm atau sabuk pengaman. Tidak mencintai lingkungan, dengan membuang sampah sembarangan atau memakai listrik dan air secara berlebihan.
Permasalahan tentunya membutuhkan sebuah pemecahan atau solusi. Keluar dari lingkaran setan memang tidak mudah, namun bisa. Kemiskinan adalah sebuah fenomena multifaset, multidimensional, dan terpadu. Fenomena kemiskinan yang multidimensional, menuntut formulasi kebijakan yang multidimensional pula. Keliruan besar, apabila kebijakan dirancang parsial dan hanya fokus pada pembenahan ekonomi semata (Simanjuntak, 2007). Masih ada dimensi sosial, pertahanan, dan kultur yang harus diperbaiki pula. Jadi, mengatasi masalah multidimensional harus dilihat dari semua sudut sehingga akan membutuhkan jangka waktu yang lama. Waktu yang dibutuhkan nanti pasti akan sebanding dengan hasil yang didapat. Seperti jika kita terserang demam, belum tentu bisa disembuhkan hanya dengan obat penurun demam, karena bisa jadi permasalahan sebenernya adalah typhus. Dan tentu saja typhus diketahui dari pemeriksaan-pemeriksaan lebih lanjut serta penyembuhan yang bertahap.
Dalam Suharto (2007) dikatakan bahwa seringkali sebagian orang menganalogikan strategi pengentasan kemiskinan berupa teori ikan dan kail. Sering dikatakan bahwa memberi ikan kepada si miskin tidak dapat menyelesaikan masalah. Si miskin akan menjadi tergantung. Kemudian, banyak orang percaya memberi kail akan lebih baik. Si miskin akan lebih mandiri. Benarkah? Analogi ini perlu diperluas. Memberi kail saja ternyata tidak cukup. Meskipun orang punya kail, kalau ia tidak memiliki cara mengail ikan tentunya tidak akan memperoleh ikan. Pemberian keterampilan (capacity building) kemudian menjadi kata kunci dalam proses pemberdayaan masyarakat. Setelah orang punya kail dan memiliki keterampilan mengkail, tidak dengan serta merta ia dapat mengumpulkan ikan, jikalau lautan, sungai dan kolam dikuasai suatu kelompok. Karenanya, penanganan kemiskinan memerlukan pendekatan makro kelembagaan. Perumusan kebijakan sosial adalah salah satu piranti penciptaan keadilan yang sangat penting dalam mengatasi kemiskinan.
Keterampilan, pemberdayaan, dan kompetensi-kompetensi yang ditanamkan pada tiap bangsa tentu saja tidak terlepas dari bagaimana sistem pendidikan yang didapat. Sistem pendidikan harus benar-benar mewujudkan visi misi untuk mengasah tiap individu untuk memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk menghancurkan lingkaran setan kemiskinan, kemiskinan dalam dimensi yang beragam. Jadi, perlu sekali pemecahan permasalahan yang multi untuk menghadapi persoalan yang multi. Tentu saja diperlukan kerja sama antara seluruh pihak yang terkait. Percuma memiliki sumber daya alam yang cadas, tanpa sumber daya manusia cerdas. Teringat perkataan seorang da’i, bahwa menjadi lebih baik itu dimulai dari hal yang kecil, dari diri (negara) sendiri, dan dimulai sekarang juga.

KEPUSTAKAAN
Jalaludin, Rakhmat. 1999. Rekayasa Sosial, Reformasi atau Revolusi Remaja. Rosdakarya. Bandung.
Jarnasy, Owin. 2004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Belantika.Jakarta.
Julia. 2006. Kami Marah karena “Tra” Dapat Kartu BLT. Sinar Harapan. 16 Oktober 2006.
Mas’oed, M. 1997. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta.
Nasikun, 1995, Kemiskinan di Indonesia Menurun, dalam Perangkap Kemiskinan, Problem, dan Strategi Pengentasannya, (Bagong Suyanto, ed), Airlangga University Press. Surabaya.
Recky Sendouw.2006.Mengapai Indonesia Miskin?. Harian Komentar . 10 Mei 2006.
Simanjuntak, D.A. 2007. Quo Vadis Kemiskinan di Banten. http://dahnilanzarsimanjuntak.blogspot.com [03 April 2008].
Suharto, Edi. 2007. Pendekatan Pekerjaan Sosial dalam Menangani Kemiskinan di Tanah Air. http://www.policy.hu/suharto/makIndo27.html [03 April 2008].

0 komentar:

Post a Comment

 
Free Website templatesFree Flash TemplatesFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates